Buku hadir sebagai pembuka tabir
peradaban. Negara maju telah berhasil membuktikannya. Namun dalam proses
perjalanannya, industri buku di Indonesia malah semakin tersisih. Eksistensi
buku hanya menempati rangking terakhir dalam kebutuhan keluarga di Indonesia. Pepatah
tentang “buku gudangnya ilmu dan membaca adalah kuncinya”, seakan tak berarti
di negeri ini.
Apa penyebab merosotnya industri buku di
Indonesia?
Disinyalir perkembangan daya baca dan
daya beli masyarakat Indonesia terhadap buku masih (tetap) saja rendah.
Sehingga “rendahnya minat baca” dan
“mahalnya harga buku” sering disebut-sebut sebagai penyebab utama mengapa industri
dan tata niaga buku di Indonesia belum juga bisa tumbuh dan berkembang dengan
baik.
Sebagaimana diungkapkan penyair Taufik
Ismail, bangsa Indonesia masih rabun membaca dan pincang menulis. Hal ini ia
tegaskan setelah melakukan penelitian sederhana kepada siswa SMU di 13 negara.
Jika 13 SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku sastra selama tiga
tahun, Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura,
Malaysia, Thailand dan Brunei Darusalam menamatkan membaca 5-7 judul buku
sastra, siswa SMU di Indonesia nol buku.
Seirama dengan persoalan rendahnya
minat baca masyarakat, menurut Subagya (2005: 10), ada dua pendapat yang
berbeda. Pendapat pertama menegaskan, harga buku yang mahal untuk sebagian
besar masyarakat (dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk) merupakan
penyebab utama rendahnya permintaan terhadap buku.
Pendapat yang kedua menyatakan, minat
baca masyarakat yang masih rendahlah yang menjadi penyebabnya dan hal itu tidak
bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa buku belum menjadi salah satu kebutuhan
masyarakat kita.
Kondisi itu berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) 2003 mensinyalir penduduk Indonesia berumur di atas 15
tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca
majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah
44,28% dan yang membaca ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%.
Potret Buram
Perbukuan
Dengan merujuk pada kedua asumsi di
atas, secara garis besar dapat disimpulkan eksistensi buku dalam anggaran
belanja keluarga Indonesia belum termasuk kategori kebutuhan utama. Mengapa
demikian? Beberapa kalangan menilai tipikal budaya membaca orang Indonesia
sangat unik, banyak orang membaca sewaktu-waktu saja dan hanya sedikit orang Indonesia yang benar-benar menjadikan
media cetak, baik sebagai sarana memperoleh hiburan maupun untuk memperoleh
informasi.
Sisi lain, lompatan budaya (tradisi)
lisan juga ikut mempengaruhi kolerasi
budaya baca sehingga pada akhirnya mempengaruhi selera beli dan daya beli
mereka. Belum lagi surut lompatan budaya lisan, lahirlah budaya audio-visual
berupa televisi. Kehadiran televisi di tahun 1970-an serta merta mendorong tradisi lisan ikut terkontaminasi.
Hingga tahun 2010 saat ini terdapat 9.345 program televisi dan 11 jaringan
televisi nasional serta 95 televisi lokal yang telah siaran (data Nielsen, Juni
2010).
Kehadiran televisi dalam tataran
industri buku, menjadi ancaman terselubung. Bagaimana tidak, perkembangan media
visual yang terus melaju melahirkan banyak pilihan dalam hal informasi dan
hiburan. Dampaknya, masyarakat pada umumnya menjatuhkan pilihan utama sebagai
sarana rekreatif dan informatif pada televisi.
Setelah itu, berturut-turut surat kabar,
majalah, baru pada buku. Buku menjadi kebutuhan yang kesekian. Itu pun, masih
bersaing dengan media cetak lain yang juga semakin cepat menyajikan informasi
dan hiburan. Buku tinggal mencari
ceruk-ceruk lain yang belum terjamah dan belum dimakan habis oleh media cetak
lain (Subagya, 2005: 51).
Sehingga Indonesia jika dibandingkan
dengan Cina yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul
buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul
buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000
judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000
judul per tahun.
Kondisi itu terlihat juga dari
konsumsi kertas per kapita di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di
dunia. Menurut data PT Kertas Leces (persero, Probolinggo) 1989, mencatat
Amerika Serikat mengkonsumsi kertas sebanyak 317.8 kg, disusul Jepang sebanyak
204.5 kg, kemudian Australia 155.5 kg, Singapura 95.0 kg, negara-negara eropa 91,2 kg, Malaysia 25.0 kg, Thailand 17.0 kg,
Brunai 12.0 kg, Philipina 9.0 kg, India 8.0 kg, dan Indonesia 5,7 kg.
Pembinaan
Perbukuan
Pemerintah menyadari bahwa buku merupakan sumber informasi
dan saran pendidikan dalam mencerdakan bangsa, oleh karena itu industri buku
dengan komponen-komponennya perlu dikembangkan. Melihat kompleksnya masalah
industri buku dan menyangkut berbagai dan lintas sektor seperti pendidikan,
perindustrian, perdagangan, dan keuangan, maka melalui Keppres No 5 Tahun 1978,
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional
(BPPBN) yang bertugas melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep
kebijakan di bidang perbukuan nasional. Badan ini pulalah yang melakukan kajian
perbukuan secara nasional dan mengidentifikasi perlunya Undang-Undang untuk
mengatur perbukuan secara nasional. Tahun 1997, BPPBN menyusun draf awal UU
tentang perbukuan nasional tetapi tidak ditindak lanjuti sampai Badan ini
dibubarkan.
Untuk membina perbukuan di lingkungan pendidikan dan
kebudayaan, melalui Keppres No.4 Tahun 1987 dibentuk Pusat Perbukuan di
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di samping berfungsi untuk
mengembangkan buku-buku untuk keperluan pendidikan, Pusat ini juga berupaya
berperan serta mendorong perkembangan industri buku nasional dengan melakukan
berbagai seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan perbukuan, pemasyarakatan
minat dan gemar membaca, serta melanjutkan upaya melahirkan Undnag-Undang
tentang Sistem Perbukuan Nasional. Akan tetapi dengan alasan reformasi
birokrasi, Pusat Perbukuan ini diintegrasikan dengan Pusat Kurikulum menjadi
Pusat Kurikulum dan Perbukuan dengan lingkup tugas dan fungsi yang semakin
sempit.
Mila Novera (1215101952)
Teknologi Pendidikan UNJ 2010
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar